Om
Swastiastu..
Perjuangan pemeluk agama Hindu agar eksistensinya sebagai agama negara diakui atau lebih tepatnya secara eksplisit mendapat perhatian sebagai mana mestinya oleh pemerintah. Memang suatu agama tidak perlu pengakuan pemerintah karena suatu agama lahir atas wahyu Tuhan yang diterima para resi atau nabi masing-masing agama. Namun demikian, oleh karena pemeluk suatu agama berhimpun dalam suatu wilayah tertentu dalam suatu negara sehingga disebut suatu bangsa, maka pengakuan tersebut menjadi penting.
Perjuangan pemeluk agama Hindu agar eksistensinya sebagai agama negara diakui atau lebih tepatnya secara eksplisit mendapat perhatian sebagai mana mestinya oleh pemerintah. Memang suatu agama tidak perlu pengakuan pemerintah karena suatu agama lahir atas wahyu Tuhan yang diterima para resi atau nabi masing-masing agama. Namun demikian, oleh karena pemeluk suatu agama berhimpun dalam suatu wilayah tertentu dalam suatu negara sehingga disebut suatu bangsa, maka pengakuan tersebut menjadi penting.
Sebagai agama
tertua yang berkembang di Indonesia perkembangan agama Hindu mengalami pasang
surut, terutama dari segi kuantitas. Masa kejayaan Kerajaan Majapahit sekaligus
dipandang sebagai masa jaya agama Hindu di Indonesia dan Sandyakalaning
Majapahit, runtuhnya Kerajaan Majapahit sekaligus pula merupakan runtuhnya
perkembangan agama Hindu di Indonesia sampai titik terendah. Namun, demikian
sisa-sisa kejayaan agama Hindu di Indonesia dipertahankan dengan taat hingga
oleh sebagian masyarakat di Pulau Bali, Lombok, Jawa, Sumbawa, Kalimantan,
Sumatra, Sulawesi, Irian, dan daerah lainnya. Mula-mula, dipertahankan oleh
masyarakat dengan sistem kerajaan dan kelompok masyarakat hinduistis, kemudian
juga masih dipertahankan oleh masyarakat pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada saat bangsa Indonesia melakukan perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, banyak putra Bali berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak jaman kerajaan terbukti I Gusti Agung Jelantik memimpin perjuangan masyarakat Bali dan melakukan “Perang Jagaraga” untuk menentang pendudukan Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana memimpin rakyat Kerajaan Badung, melakukan “Perang Puputan Badung”, Ida Cokorda Istri Kania bersama rakyat Kerajaan Klungkung melakukan “Perang Puputan Klungkung” dan masih banyak lagi peristiwa bersejarah perlu mendapat catatan emas tinta sejarah bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula pada masa pergerakan, I Gusti Ngurah Rai telah melakukan peperangan tiada akhir melawan usaha invasi Belanda ke Bali.
Pada saat bangsa Indonesia melakukan perjuangan untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah, banyak putra Bali berjuang sampai titik darah penghabisan untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak jaman kerajaan terbukti I Gusti Agung Jelantik memimpin perjuangan masyarakat Bali dan melakukan “Perang Jagaraga” untuk menentang pendudukan Pemerintah Hindia Belanda di Bali. Ida Cokorda Mantuk Ring Rana memimpin rakyat Kerajaan Badung, melakukan “Perang Puputan Badung”, Ida Cokorda Istri Kania bersama rakyat Kerajaan Klungkung melakukan “Perang Puputan Klungkung” dan masih banyak lagi peristiwa bersejarah perlu mendapat catatan emas tinta sejarah bangsa Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Demikian pula pada masa pergerakan, I Gusti Ngurah Rai telah melakukan peperangan tiada akhir melawan usaha invasi Belanda ke Bali.
Setelah pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, dan meskipun heruisme masyarakat Bali yang beragama Hindu diakui partisipasinya dalam perang kemerdekaan, namun secara formal, agama Hindu yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Bali belum diakui oleh pemerintah.
1. Pada tanggal tanggal 26 Desember
1950, Menteri Agama (K.H. Masykur) bersama Sekjen mendatangi Kantor Daerah Bali
yang diterima oleh I Gusti Bagus Sugriwa sebagai salah satu Anggota Dewan
Pemerintahan Daerah Bali (D.P.D. Bali) bersoal jawab mengenai agama Hindu Bali.
Setelah itu, Menteri Agama dapat menerima alasan mengapa Agama Hindu Bali harus
diakui sebagai agama negara dan menjanjikan akan mengesahkannya setelah selesai
keliling di Sunda Kecil.
2. Pada Tanggal 10 Oktober 1952,
Menteri Agama, Sekjen Menteri Agama (R. Moh. Kafrawi) disertai Kepala Jawatan
Pendidikan Agama Islam memberi ceramah di Balai Masyarakat Denpasar dan
menyatakan bahwa “.... tidak dapat mengakui dengan resmi Agama Hindu Bali karena
tidak ada peraturan untuk itu berbeda dengan Agama Islam dan Agama Kristen
memang telah ada peraturannya ......”.
3. Pada Pertengahan Tahun 1953,
Pemerintah Daerah Bali membentuk Jawatan Agama Otonoom Daerah Bali dengan
tujuan untuk mengatur pelaksanaan agama umat Hindu Bali, karena belum diatur
dari pusat. Pimpinan lembaga tersebut dipercayakan kepada Ida Padanda Oka
Telaga dan I Putu Serangan. Di tiap-tiap Kapupaten dibentuk Kantor Agama
Otonoom yang diketuai oleh seorang Padanda. Pada tahun ini pula D.P.D. Bali
atas persetujuan D.P.R.D. Bali mencabut hukuman: Asu Pundung, Anglangkahi
Karang Hulu, Manak Salah, Salah Pati Angulah Pati, karena tidak sesuai lagi
dalam suasana demokrasi.
4. Pada tanggal 29 Juni 1958 lima orang
utusan organisasi agama dan sosial di Bali menghadap Presiden Soekarno di
Tampaksiring. Diantar oleh Ketua DPR Daerah Peralihan Daerah Bali I Gusti Putu
Mertha. Rombongan utusan itu adalah Ida Pedanda Made Kumenuh, I Gusti Ananda
Kusuma, Ida Bagus Wayan Gede, Ida Bagus Dosther dan I Ketut Kandia. Pokok
masalah yang diajukan adalah supaya dalam kementrian Kementriann Agama Republik
Indonesia ada Bahagian Hindu Bali, sebagaimana yang telah diperoleh oleh Islam,
Katholik dan Kristen.
5. Permohonan tersebut memperoleh
response yang positif dari Pemerintah karena pada tanggal 5 September 1958
terbitlah Surat Keputusan Menteri Agama RI yang mengakui keberadaan Agama Hindu
Bali. Selanjutnya terhitung mulai tanggal 2 Januari 1959 pada Kementerian Agama
Republik Indonesia dibentuk Biro Urusan Agama Hindu Bali pada Kementrian Agama
Republik Indonesia. Biro tersebut pertama kali dipimpin oleh I Gusti Gede Raka
dibantu oleh I Gusti Gede Raka dibantu oleh I Nyoman Kajeng. Setelah I Gusti
Gede Raka meninggal dunia saat masih menjabat, lalu digantikan oleh I Nyoman
Kajeng (Agastia, 2008: 9).
6. Mengantisipasi hal tersebut Pada
tanggal 7 Oktober 1958, diadakan pertemuan kembali antara Pemerintah Daerah
Bali dengan Pimpinan Organisasi Keagamaan di Bali di Balai Masyarakat Denpasar.
Pada pertemuan tersebut diputuskan membentuk panitia yang bertugas
mempersiapkan Dewan Agama Hindu Bali. Panitia terdiri atas Paruman Para
Padanda, Panitia Agama Hindu Bali, Angkatan Muda Hindu Bali, Doktor Ida Bagus
Mantra dan I Gusti Bagus Sugriwa. Pada tanggal 6 Desember 1958, panitia tersebut
menyelenggarakan rapat di Pasanggrahan Bedugul dan memutuskan bahwa Hindu Bali
Sabha akan diadakan pada bulan Januari 1959 (Dana (ed), 2005: 13).
7. Pesamuhan Agung Hindu Bali pada
tanggal 21-22-23 Februari 1959 di Gedung Fakultas Sastra Universitas Udayana
Denpasar yang dihadiri oleh pejabat dan staf Pemerintah Daerah Tingkat I Bali,
pimpinan berbagai organisasi agama di Bali, Yayasan Yayasan Hindu bahkan
Perhimpunan Buddhis Indonesia dan Partai Nasional Hindu Bali yang pada akhirnya
membentuk Parisada yamng melahirkan “Piagam Parisada”. Hindu Bali Sabha atau
Pasamuhan Agung Hindu Bali tersebut kemudian dikenal sebagai Sidang Pembentukan
Parisada Dharma Hindu Bali.
Ada sejumlah
tantangan (challenge) yang menyebabkan putra-putra terbaik Bali membentuk PHDI
pada waktu itu, baik dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal).
Menurut Ida Padanda Putra Telaga salah seorang yang ikut membidani kelahiran
PHDI yang dicatat Ida Bagus Gede Agastia (WHD, 2001), bahwa tantangan dari luar
disebabkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia di mana masing-masing
agama digiring untuk mewadahi dirinya dalam suatu lembaga agar mempermudah
komunikasi antarlembaga, termasuk negara sebagai sebuah lembaga. Ini tentu
merupakan tantangan positif, bahwa gagasan mewadahi diri dalam satu lembaga
bagi pemeluk agama Hindu di Indonesia berarti pula melakukan penataan diri
sehingga terbentuk peradaban Hindu berdasarkan dharma.
Sementara itu, di tengah situasi politik yang memanas, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat tidak menghendaki berdirinya PHDI. Namun, karena keteguhan sejumlah orang yang bersemangat tinggi mengabdikan diri pada bidang agama Hindu—bak bintang bersinar di tengah malam paling gelap—demikian dinyatakan Ida Padanda Putra Telaga, menyebabkan PHDI akhirnya terbentuk juga, sudah tentu dengan mabela pati (resiko mati). Dari dalam, desakan untuk membentuk lembaga ini disebabkan karena kesadaran kaum intelektual pada waktu itu untuk menata kehidupan beragama Hindu agar benar-benar berlandaskah ajaran dharma.
Pembentukan PHDI memang dilandasi cita-cita mulia pendirinya untuk menata diri (dharma agama) agar peradaban Hindu benar-benar berdasarkan ajaran dharma dan menjadi mitra pemerintah menciptakan negara jagadhita (dharma nagara). Dari aula Fakultas Sastra Unud yang sederhana akhirnya pada tanggal 23 Pebruari 1959 lahirlah apa yang disebut Piagam Parisadha yang merupakan cikal bakal terbentuknya PHDI sebagai lembaga nasional yang diakui dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan tonggak kelahiran PHDI sekaligus merupakan tonggak kebangkitan Hindu Indonesia sehingga 50 tahun PHDI berarti pula Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia yang harus diperingati secara istimewa oleh masyarakat Hindu di Indonesia.
Tulisan atau artikel diatas merupakan tulisan dari : DOKTOR I WAYAN SUKARMA dengan blognya sukarma-puseh.blogspot.com
Sedangkan versi dari blog tulisan Iman Brotoseno yang saya kutip dan salin disini adalah Tahun 1953, terjadi peristiwa yang mengherankan. Fakih Usman, Menteri Agama dalam kabinet Wilopo, menyatakan bahwa syarat syarat yang harus dipenuhi sesuatu agama agar diakui Pemerintah, adalah harus memiliki kitab suci, mempunyai nabi, harus ada kesatuan ajaran serta pengakuan dari luar negeri. Menteri Agama berargumantasi bahwa Sila Pertama Pancasila harus diartikan monoteisme, sehingga kepercayaan kepada Roh-roh, dewa dewa tidak diperkenankan.
Tak lama kemudian serombongan pegawai Departemen Agama datang ke Bali dan memberitahu penduduk bahwa agama mereka tidak memenuhi syarat, maka penduduk Bali mesti mendaftarkan diri sebagai golongan Islam statistik. Mendadak sontak, Bali menjadi geger sampai ke pelosok, Penduduk Bali merasa terkejut. Roh, dewa, pura dan kebudayaan Bali akan dipisahkan dari penduduk. Protes keras dilancarkan seantero Bali.
Anggota parlemen asal bali, Ida Bagus Mauaba di Jakarta mengatakan, Indonesia Timur akan memisahkan diri jika Bali akan di Islamkan. Kita akan meminta perlindungan kepada Australia, Pemerintah buru buru mengatakan itu pendapat pribadi Menteri Agama. Presiden Soekarno sendiri merasa kecolongan, sehingga memutuskan memulai kampanye di seluruh negeri tentang negara Pancasila. Hasil gerakan tersebut akhirnya memaksa Jakarta memenuhi permintaan Bali bahwa Hindu Bali diakui sebagai agama resmi.
Tulisan ataupun artikel diatas bukan untuk dibandingkan melainkan untuk mengingatkan kita sebagai Generasi Hindu akan Sejarah Agama HIndu Diakui di Indonesia ini dan tulisan tersebut sangat menyentuh saya sebagai seorang generasi Hindu di NKRI ini, Mudah mudahan dengan cerita sejarah diatas dapat membuat generasi Hindu nusantara ini menjadikan bahwa sejarah adalah salah satu aspek penting yang menjadikan kita lebih mantap berjalan di masa depan bumi pertiwi Indonesia.Bung Karno pernah mengucapkan : “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)...Rahayu
Om Shanti Shanti Shanti om...
Sementara itu, di tengah situasi politik yang memanas, Partai Komunis Indonesia (PKI) sangat tidak menghendaki berdirinya PHDI. Namun, karena keteguhan sejumlah orang yang bersemangat tinggi mengabdikan diri pada bidang agama Hindu—bak bintang bersinar di tengah malam paling gelap—demikian dinyatakan Ida Padanda Putra Telaga, menyebabkan PHDI akhirnya terbentuk juga, sudah tentu dengan mabela pati (resiko mati). Dari dalam, desakan untuk membentuk lembaga ini disebabkan karena kesadaran kaum intelektual pada waktu itu untuk menata kehidupan beragama Hindu agar benar-benar berlandaskah ajaran dharma.
Pembentukan PHDI memang dilandasi cita-cita mulia pendirinya untuk menata diri (dharma agama) agar peradaban Hindu benar-benar berdasarkan ajaran dharma dan menjadi mitra pemerintah menciptakan negara jagadhita (dharma nagara). Dari aula Fakultas Sastra Unud yang sederhana akhirnya pada tanggal 23 Pebruari 1959 lahirlah apa yang disebut Piagam Parisadha yang merupakan cikal bakal terbentuknya PHDI sebagai lembaga nasional yang diakui dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan tonggak kelahiran PHDI sekaligus merupakan tonggak kebangkitan Hindu Indonesia sehingga 50 tahun PHDI berarti pula Setengah Abad Kebangkitan Hindu Indonesia yang harus diperingati secara istimewa oleh masyarakat Hindu di Indonesia.
Tulisan atau artikel diatas merupakan tulisan dari : DOKTOR I WAYAN SUKARMA dengan blognya sukarma-puseh.blogspot.com
Sedangkan versi dari blog tulisan Iman Brotoseno yang saya kutip dan salin disini adalah Tahun 1953, terjadi peristiwa yang mengherankan. Fakih Usman, Menteri Agama dalam kabinet Wilopo, menyatakan bahwa syarat syarat yang harus dipenuhi sesuatu agama agar diakui Pemerintah, adalah harus memiliki kitab suci, mempunyai nabi, harus ada kesatuan ajaran serta pengakuan dari luar negeri. Menteri Agama berargumantasi bahwa Sila Pertama Pancasila harus diartikan monoteisme, sehingga kepercayaan kepada Roh-roh, dewa dewa tidak diperkenankan.
Tak lama kemudian serombongan pegawai Departemen Agama datang ke Bali dan memberitahu penduduk bahwa agama mereka tidak memenuhi syarat, maka penduduk Bali mesti mendaftarkan diri sebagai golongan Islam statistik. Mendadak sontak, Bali menjadi geger sampai ke pelosok, Penduduk Bali merasa terkejut. Roh, dewa, pura dan kebudayaan Bali akan dipisahkan dari penduduk. Protes keras dilancarkan seantero Bali.
Anggota parlemen asal bali, Ida Bagus Mauaba di Jakarta mengatakan, Indonesia Timur akan memisahkan diri jika Bali akan di Islamkan. Kita akan meminta perlindungan kepada Australia, Pemerintah buru buru mengatakan itu pendapat pribadi Menteri Agama. Presiden Soekarno sendiri merasa kecolongan, sehingga memutuskan memulai kampanye di seluruh negeri tentang negara Pancasila. Hasil gerakan tersebut akhirnya memaksa Jakarta memenuhi permintaan Bali bahwa Hindu Bali diakui sebagai agama resmi.
Tulisan ataupun artikel diatas bukan untuk dibandingkan melainkan untuk mengingatkan kita sebagai Generasi Hindu akan Sejarah Agama HIndu Diakui di Indonesia ini dan tulisan tersebut sangat menyentuh saya sebagai seorang generasi Hindu di NKRI ini, Mudah mudahan dengan cerita sejarah diatas dapat membuat generasi Hindu nusantara ini menjadikan bahwa sejarah adalah salah satu aspek penting yang menjadikan kita lebih mantap berjalan di masa depan bumi pertiwi Indonesia.Bung Karno pernah mengucapkan : “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.” (Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)...Rahayu
Om Shanti Shanti Shanti om...